Kamis, 04 Maret 2010

Benci Tapi Rindu, Sebuah Analisis Terhadap Kebijakan Rokok di Indonesia







  1. SEJARAH ROKOK
Seperti gambar diatas itulah kenyataan yang terjadi dengan rokok di Indonesia. Jika diibaratkan sebuah drama atau sinetron, maka judul yang tepat barangkali adalah “Benci Tapi Rindu”. Kehadiran rokok selalu mengundang kontroversi di dunia ini, bahkan penuh dengan misteri, ada yang suka ada yang benci, ada yang melarang ada pula yang membolehkan, ada yang menangis karenanya tapi juga ada yang tertawa karenanya, bahkan yang lebih ekstrem adalah kenyataan bahwa “tidak semua perokok suka dengan rokok”, dan bahwa “tidak semua orang yang bukan perokok membenci rokok”.
Cerita kontoversi rokok tidak terlepas dari sejarah rokok itu sendiri. Ada beberapa versi tentang sejarah rokok ini.
Sejarah rokok dimulai saat warga asli benua Amerika (Maya, Aztec dan Indian) mengisap tembakau pipa atau mengunyah tembakau sejak 1000 sebelum masehi. Tradisi membakar tembakau kemudian dimulai untuk menunjukkan persahabatan dan persaudaraan saat beberapa suku yang berbeda berkumpul, serta sebagai ritual pengobatan. Kru Columbus membawa tembakau beserta tradisi mengunyak dan membakar lewat pipa ini ke “peradaban” di Inggris. Namun demikian, seorang diplomat dan petualang perancis-lah yang justru paling berperan dalam menyebarkan popularitas rokok di seantero Eropa, orang ini adalah Jean Nicot, darimana istilah Nikotin (dari Nicot) berasal.
Versi sejarah lain mengatakan,
tradisi rokok dan merokok yang lebih tua berasal dari Turki semenjak periode dinasti Ottoman. Setelah permintaan tembakau meningkat di Eropa, budidaya tembakau mulai dpelajari dengan serius terutama tembakau Virginia yang ditanam di Amerika. John Rolfe adalah orang pertama yang berhasil menanam tembakau dalam skala besar, yang kemudian diikuti oleh perdagangan dan pengiriman tembakau dari AS ke Eropa. Secara ilmiah, buku petunjuk bertanam tembakau pertama kali diterbitkan di Inggris pada tahun 1855.
Versi lain menyebutkan manusia di dunia yang merokok untuk pertama kalinya adalah suku bangsa Indian di Amerika, untuk keperluan ritual seperti memuja dewa atau roh. Pada abad 16, Ketika bangsa Eropa menemukan benua Amerika, sebagian dari para penjelajah Eropa itu ikut mencoba-coba menghisap rokok dan kemudian membawa tembakau ke Eropa. Kemudian kebiasaan merokok mulai muncul di kalangan bangsawan Eropa. Tapi berbeda dengan bangsa Indian yang merokok untuk keperluan ritual, di Eropa orang merokok hanya untuk kesenangan semata-mata. Abad 17 para pedagang Spanyol masuk ke Turki dan saat itu kebiasaan merokok mulai masuk negara-negara Islam.
Sementara di Indonesia Haji Jamhari diyakini sebagai pencipta rokok kretek dan mempopulerkannya pada sekitar tahun 1880. Rokok kretek buatannya sangat ampuh sebagai obat dengan racikan khas cengkeh dan tembakau. Istilah Kretek adalah sebutan khas untuk menamai rokok asal Indonesia, istilah ini berasal dari bunyi rokok saat disedot yang diakibatkan oleh letupan cengkeh (kretek..kretek..). Selain Haji Jamhari, M. Nitisemito yang juga dipercaya sebagai penemu dari rokok kretek. M Nitisemito berasal dari Kudus, Jawa Tengah. Sekitar tahun 1906 , Nitisemito menderita batuk dan asma yang tak kunjung sembuh. Dikarenakan keputusasaan dalam menghadapi sakitnya, ia mencampur tembakau dicampur dengan cengkeh yang telah digiling dan dibungkus dengan daun jagung kering yang kemudian disebutnya sebagai rokok klobot. Nitisemito pun merasa sehat setelah merokok klobot tersebut dan bermaksud menularkan kebiasaannya tersebut secara luas kepada masyarakat.
Terlepas dari siapa yang menemukan rokok kretek untuk pertamakalinya, M Nitisemito adalah orang pertama yang memperdagangkan rokok kretek dengan kemasan dan diberi merek. Perkenalannya dengan dunia usaha rokok berawal dari pertemuannya dengan Nasilah, seorang pembuat dan penjual rokok klobot. Jalinan kerjasama antara Nitisemito dan Nasilah yang kemudian menjadi suami istri inilah merupakan titik balik sejarah industrialisasi rokok kretek di Indonesia. Dibawah bendera perusahaannya, NV Bal Tiga, Nitisemito menjual rokok kretek tersebut dengan merk Bal Tiga yang bermoto: “Djangan Loepa Saja Poenja Nama”. Inilah rokok kretek pertama di Indonesia yang dicetak dengan baik dan menggunakan merk.

Selain Bal Tiga, tercatat merek lain yang muncul hampir bersamaan di Kudus . Pada tahun 1913 berdirilah perusahaan rokok Goenoeng dan Klapa yang didirikan oleh M Atmowijoyo. Namun M Atmowijoyo tidak mengubah usahanya menjadi sebuah industri seperti halnya yang dilakukan oleh M Nitisemito. Hingga saat ini, perusahaan yang memproduksi merek Goenoeng dan Klapa masih memproduksi rokok klobot yang dibuat dengan tangan dan diikat dengan tali rami. Perkembangan pabrik rokok kretek pun lebih banyak berkembang di pulau Jawa. Tercatat beberapa pabrik rokok besar di pulau Jawa misalnya Djambu Bol yang didirikan tahun 1937 oleh Haji Roesjdi Ma’roef, Sukun, Jarum di Jawa Tengah serta Bentoel, Gudang Garam, dan Sampurna di Jawa Timur termasuk beberapa pabrik kecil lainnya misalnya Menara di Solo, Retjo Pentoeng di Kediri, atau Pompa di Semarang (Kompas, 29 September 2000) Hal ini menunjukkan bahwa rokok merupakan lahan usaha yang berkembang pesat dan menjanjikan dalam bidang perekonomian, baik bagi pengusaha, maupun bagi pemerintah dengan pendapatan dari pajaknya.
Dari anggapan sebagai obat penyembuh, lambang persahabatan dan persaudaraan, rokok kemudian berkembang menjadi simobol kejantanan pria, simbol keberanian laki-laki dan segala yang berbau maskulinitas.
Simbol rokok sebagai kejantanan lelaki makin menguat sejak iklan Marlboro Man pada tahun 1949. Iklan ini juga menjadi simbol kebangkitan Philip Morris sebagai produsen rokok terbesar didunia dengan bendera Marlboro. Dengan iklan ini, Marlboro mengubah image dari rokoknya perempuan menjadi rokok laki-laki sejati.
Ironisnya, tiga orang yang pernah tampil dalam iklan Marlboro, yaitu Don McLaren, David McLean, dan Dick Hammer, meningga akibat kanker paru-paru, penyakit yang dapat disebabkan oleh rokok. Sebelum meninggalnya, Don McLaren menjadi aktivis anti rokok yang menggalang dukungan untuk pembuatan kebijakan anti rokok.
  1. KONTROVERSI ROKOK, DIBENCI SEKALIGUS DIRINDU
A. Rokok dibenci
Ada banyak alasan mengapa rokok begitu dibenci sebagian umat manusia di dunia ini. Dari alasan pemborosan, merusak penampilan, mengganggu orang lain, dan yang paling utama tentunya adalah alasan yang berkaitan dengan resiko kesehatan. style="font-size: 100%;"> Masalah kesehatan ini mendapat perhatian serius oleh para pihak anti rokok. style="font-size:100%;">Barangkali sudah menjadi berita basi, bahwa dalam satu batang rokok mengandung tidak kurang dari 4000 zat organik berbahaya, dimana setidaknya 69 diantaranya adalah penyebab kanker. Zat-zat tersebut antara lain : nikotin, karbon monoksida (CO), dan Tar, aseton (yang biasa digunakan sebagai bahan cat), ammonia (pembersih lantai), arsen (racun), butane (lighter fuel; bahan bakar ringan), kadmium (aki mobil), karbon monoksida (asap knalpot), DDT (insektisida), hidrogen sianida (gas beracun), methanol (bensin roket), naftalen (kamper), toluene (pelarut industri), vinil klorida (plastik). Tidak hanya kanker, zat-zat berbahaya dalam rokok dapat menyebabkan masalah kesehatan yang lain seperti, gangguan pernafasan, stroke, impotensi, gangguan janin dan lain-lain.

style="font-size:100%;">Memang semua orang akan mati, baik orang yang merokok maupun yang tidak merokok. Namun demikian, kita tidak dapat menutup mata dengan laporan Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang menyatakan bahwa pada tahun 2001 sebanyak 4,2 juta orang setiap tahunnya di dunia ini mati karena rokok. Berdasarkan perhitungan statistik diperkirakan pada tahun 20020 nanti akan meningkat menjadi lebih dari 10 juta orang meninggal per tahun akibat penyakit yang disebabkan oleh rokok.

Hal-hal seperti diatas adalah fakta-fakta yang tidak dapat dibantah betapa rokok begitu pantas untuk dibenci, bahkan oleh kaum perokok sekalipun. Jika ditanyakan kepada para perokok apakah mereka ingin berhenti merokok, pasti jawabannya adalah “ya!”. Mereka menyadari sepenuhnya dampak merokok bagi mereka, namun karena alasan ketercanduan, mereka belum dapat lepas dari jeratan rokok yang mematikan ini.

B. Rokok dirindu

Tidak dapat dipungkiri, selain sisi negatif yang dimiliki, terdapat sisi lain yang menampilkan sisi positif rokok. Rokok memiliki sisi positif bagi individu, maupun pihak-pihak lain seperti masyarakat, pemerintah, ataupun institusi lainnya. Seperti sudah disebutkan sebelumnya, tembakau sebagai bahan dasar rokok, mempunyai manfaat untuk pengobatan. Dari sejarahnya inilah membuat rokok sebagai sesuatu hal yang diminati secara global di dunia. Bagi individu, soal manfaat 'positif ' rokok bagi para perokok juga diakui para dokter spesialis paru-paru sekalipun. Banyak perokok yang merasakan peningkatan konsentrasi, mood, kemampuan belajar, mengurangi stress dan lelah, serta kemampuan memecahkan masalah saat mengisap sebatang rokok. Hal ini dapat terjadi karena pada saat menghisap rokok, nikotin yang terdapat didalamnya akan diterima reseptor otak dan selanjutnya memicu pelepasan dopamine yang menimbulkan efek rasa tenang dan nyaman bagi tubuh. Walaupun, rasa tenang ini hanyalah semu, karena setelah nikotin habis, dopamine akan berkurang sehingga rasa nyaman yang ditimbulkannya juga hilang sehingga timbul kembali keinginan untuk merokok. Hingga akhirnya perokok mengalami adiksi fisik (kecanduan/ketagihan) dimana tubuh menuntut supaya kadar nikotin dalam darah terus dipenuhi agar tubuh dapat terus menerus merasakan kenyamanan.

Kehadiran industri rokok juga tak jarang membawa berkah bagi masyarakat secara luas.
style="font-size:100%;">Mereka sering berperan dalam bidang pendidikan seperti pemberian beasiswa kepada siswa berprestasi, selain itu juga dalam bidang olahraga, bidang hiburan seperti musik dan film, bidang ketenagakerjaan, dan yang paling terasa adalah bahwa industri rokok menjadi penyumbang terbesar pendapatan negara-negara di dunia, termasuk Indonesia.



III.KEBIJAKAN PEMERINTAH INDONESIA TENTANG ROKOK

Kontroversi mengenai rokok sepertinya akan berlangsung terus menerus dan entah kapan akan berakhir. Rokok tidak lagi hanya menimbulkan 2 (dua) pilihan persetujuan saja, “ya atau tidak”, melainkan banyak yang harus diperhitungkan di dalamnya. Hal ini menimbulkan permasalahan yang pelik bagi para pembuat kebijakan, khususnya di Indonesia ini, berkaitan dengan rokok ini.

Ketika negara-negara lain telah membuat kebijakan yang dapat melindungi warga negaranya dari dampak negatif rokok, Indonesia masih terus menerus mempertahankan kebijakan yang pro rokok dan seolah-olah mengabaikan masalah yang lebih besar yaitu kesehatan masyarakatnya. Bahkan ketika Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah membuat sebuah kerangka hukum yang bernama Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau Kerangka Konvensi Pengendalian Tembakau, Pemerintah Indonesia tetap tidak bergeming dengan tidak segera meratifikasinya.

Ada kekhawatiran bahwa kebijakan pemerintah telah dibeli oleh industri rokok yang jelas telah memberikan keuntungan yang sangat besar bagi negara ini. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang notabene menjadi ujung tombak pemerintahan di Indonesia, ironisnya justru pernah mengungkapkan akan mensponsori pendirian pabrik rokok di kampung halamannya, Pacitan Jawa Timur, dengan alasan untuk mengentaskan kemiskinan di daerah tersebut.

Seolah mendukung pimpinannya, 2 (dua) orang menteri yang terkait langsung dengan masalah per-rokokan ini, yakni Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari dan Menteri Perindustrian Fahmi Idris juga menandaskan bahwa industri rokok tetap diatas segala-galanya. Menkes Siti Fadillah Supari secara terang-terangan mengaku tidak dapat berbuat banyak karena memang faktanya industri rokok telah memberikan pendapatan yang besar bagi negara. Sementara Fahmi Idris pada suatu kesempatan bertekad akan terus mendukung perkembangan industri rokok di tanah air mengingat penerimaan negara dari cukai dan pajak rokok cukup besar bahkan mengalahkan penerimaan negara dari hasil pertambangan yakni Freeport yang dalam satu tahun tidak pernah melebihi angka Rp3 triliun.

Fahmi bahkan menambahkan, pemerintah telah menyiapkan road map hasil tembakau hingga 2020 nanti. Kebijakan yang telah disetujui antara Deparetemen Perindustrian dengan Departemen Keuangan terbagi atas tiga tahap.
Untuk jangka pendek, pada 2007-2010 nanti, pengembangan industri hasil tembakau bertumpu pada pengembangan kesempatan kerja, penerimaan negara, dan pemeliharaan kesehatan. Sedangkan untuk jangka menengah pada 2010-2015, prioritas industri tersebut adalah penerimaan negara, aspek kesehatan, dan penerimaan tenaga kerja. Dan untuk rencana jangka panjangnya pada 2015-2020 yakni memprioritaskan kesehatan, penyerapan tenaga kerja, dan penerimaan negara.

DPR pun setali tiga uang dengan eksekutif. Kendatipun Rancangan Undang-Undang Pengendalian Dampak Tembakau telah memenuhi syarat untuk menjadi RUU inisiatif DPR, karena telah didukung oleh 258 anggota DPR (41%) dari minimal 13 anggota, namun Badan Legislasi DPR enggan memasukkan RUU tersebut ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2008-2009, dengan alasan belum mempunyai urgensi nasional.

Dari gambaran diatas, timbul suatu pertanyaan, mengapa Pemerintah seperti tidak peduli dengan dampak negatif yang timbul dari rokok? Mengapa Pemerintah tidak segera meratifikasi FCTC dengan membuat kebijakan-kebijakan yang komprehensif untuk memproteksi warga negaranya dari dampak negatif rokok?

IV.ANALISIS KEBIJAKAN PEMERINTAH INDONESIA TENTANG ROKOK

Kebijakan yang ditempuh oleh Pemerintah terkait dengan masalah rokok tidak dapat dilepaskan dari kontroversi rokok, ada banyak alasan, ada banyak pihak yang berkepentingan. Tarik ulur diantara berbagai faktor itulah yang menjadi pertimbangan Pemerintah dalam pengambilan keputusan Pemerintah tentang kebijakan rokok ini. Kita akan mencoba menganalisa proses pengambilan keputusan Pemerintah tentang rokok ini dengan menggunakan Model Analisis Graham T. Allison. Dalam Model Allison terdapat tiga model proses pengambilan keputusan, yaitu :

Model Aktor Rasional, Model Proses Organisasional, dan Model Politik Birokrasi.

Dalam menganalisa kebijakan yang ditempuh pemerintah tentang rokok ini, akan digunakan dua odel yaitu Model ktor Rasional dan Model Birokratik Politk, saja sebagai berikut :

A. Analisa dengan Model Aktor Rasional

Dalam model aktor rasional ini Pemerintah adalah sebagai aktor individual. Dalam pengambilan keputusan Pemerintah tentang rokok ini, kita dapat memahami bahwa secara rasional rokok adalah sumber pendapatan negara yang sangat besar. Roda pemerintahan ikut terbantu melalui cukai yang diterima dari industri rokok. Cukai yang diterima oleh pemerintah dari industri rokok dari tahun ke tahun meningkat. Pada tahun 2001 pendapatan negara melalui industri rokok senilai Rp 17 triliun. Kemudian pada tahun 2007 angka ini melambung menjadi 42,03 triliun (Meilani : 2007). Sementara itu, apabila Pemerintah membuat regulasi untuk mengendalikan industri rokok/ tembakau, maka dapat dibayangkan akan munculnya permasalahan baru yang tidak kalah besarnya, yaitu masalah ketenagakerjaan. Diperkirakan sekitar 10 juta orang di Indonesia akan terancam mata pencahariaannya apabila Pemerintah membuat regulasi yang anti rokok. Secara rasional, keputusan Pemerintah tidak membuat regulasi yang anti rokok adalah tidak terlepas dari tujuannya yaitu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, sementara Pemerintah juga belum dapat menciptakan lapangan-lapangan kerja baru yang menyerap banyak tenaga kerja, sebanyak yang diserap oleh industri rokok.

B. Analisis dengan Model Proses Organisasional

Dari perspektif politik, Pemerintah memberi ruang kepada industry rokok untuk tetap eksist di Indonesia didasarkan pada beberapa alasan yaitu :

Keputusan tersebut diambil tak lepas dari adanya peran para stakeholders. Dari pihak – pihak yang pro terhadap rokok, para stakeholder tersebut adalah :

1. Para pengusaha industry rokok terutama industry rokok yang sudah besar dan mampu bersaing di dunia internasional. Ruang gerak yang diberikan Pemerintah bisa dimanfaatkan oleh para pengusaha untuk bisa berproduksi terus dan menghasilkan keuntungan pribadi.

2. Para Petani tembakau dan cengkeh. Tetap berjalannya pabrik rokok memberikan manfaat besar bagi para petani tembakau dan cengkeh karena hasil bumi mereka bisa dijual sebagai biaya hidup.

3. Para Pegadang rokok. Kebiasaan merokok yang telah melekat pada masyarakat Indonesia dan nikotin yang terkandung di dalam rokok menyebabkan para perokok tidak bisa dengan mudah menghilangkannya. Oleh karena itu, rokok akan terus dicari meski dibatasi oleh ruang gerak yang cukup sempit untuk mendapatkannya.

4. Para buruh pabrik rokok. Dengan tetap eksisnya pabrik rokok, maka industry rokok masih tetap membutuhkan tenaga buruh rokok didalamnya. Oleh karena itu, para buruh rokok ini merupakan pihak yang diuntungkan karena masih bisa bekerja mencari nafkah.

5. Pemerintah Daerah yang mendapatkan nilai tambah melalui rokok. Cukai rokok, perijinan dan pajak pendirian pabrik rokok memberkan nilai tambah tersendiri bagi Pemerintah daerah yaitu pemasukan bagi APBD.

6. Negara sebagai penerima devisa dan cukai rokok. Devisa Negara diperoleh dari eksport yang dilakukan oleh para pengusaha rokok ke luar negeri sedangkan cukai rokok yang dinaikkan akan memberikan pemasukan yang cukup significant terhadap pendapatan Negara.



V. PENUTUP

Rokok menimbulkan dua fenomena yang berbeda di Indonesia yang merupakan pertentangan nilai – nilai didalamnya berdasarkan perspertif yang berbeda pula. Di satu sisi, perilaku merokok yang sudah melekat pada masyarakat Indonesia sejak dulu merupakan suatu penghambat dalam penetapan regulasi rokok sebagaimana yang telah disepakati oleh dunia internasional. Pada satu sisi, rokok memberikan kontribusi yang besar terhadap Negara kita, sementara pada sisi yang lain merokok dapat mengganggu kesehatan dengan paparan asap rokoknya yang bisa berakibat pada kematian. Meski Indonesia sampai saat ini belum melaksanakan amanat dalam FCTC, namun lambat laun Indonesia harus melaksanakan FCTC tersebut. Demi membuat suatu keputusan efisien yang mengedepankan win – win solution, maka essence of decision memberikan arah kebijakan yang pastinya bisa membela pihak – pihak yang anti rokok ataupun pihak – pihak yang berseberangan yaitu pro rokok sehingga menimbulkan kesepakatan bersama untuk bisa dijalani secara beriringan. Kebijakan terhadap kesepakatan FCTC di Indonesia merupakan suatu kebijakan yang masih tertunda pelaksanaannya karena kurangnya komitmen dari DPR untuk ikut mensukseskan terlaksananya FCTC. style="font-size:100%;">Oleh karenanya pengesahan Undang – Undang tentang Pengendalian Dampak Produk Tembakau Terhadap Kesehatan serta RUU AKSESI tentang “Pengesahan Framework Convention on Tobacco Control” style="font-size:100%;">perlu segera dilaksanakan guna menyelamatkan generasi muda Indonesia yang mempunyai hak untuk mendapatkan peningkatan kualitas kehidupan.
style="font-size:100%;">Komitmen pemerintah untuk mengabdi pada rakyat harus ditunjukkan melalui eksistensinya dalam melawan rokok karena jelas – jelas rokok lebih banyak memberikan nilai kerugian daripada nilai positif/nilai tambah bagi seluruh negeri ini.





---------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Artikel ini pernah ditulis oleh penulis sebagai tugas mata kuliah Proses Perumusan Kebijakan Publik pada Magister Administrasi Publik UGM Yogyakarta, dengan berbagai editing.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------



0 comments :

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan pesan, kritik, ataupun saran disini