Rabu, 31 Desember 2014

The Story Behind Jarot Ari Wibowo

Jarang-jarang nulis tentang hal yang bersifat pribadi, mungkin karena situasi saat saya menulis yang dalam kesunyian karena ditinggal anak istri liburan, hingga saya merindukan suasana "keluarga". Dalam tulisan ini akan mengulik kembali cerita silam yang melatarbelakangi seorang JRT di masa kini. Mudah-mudahan ada hikmah didalamnya.

Saya terlahir sebagai anak  desa dari keluarga kelas menengah (agak ke bawah..), miskin nggak-kaya juga nggak. Bapak dan Ibu adalah PNS di lingkungan militer. Pengaruh militerisme sangat mempengaruhi terutama Bapak dalam mendidik anak-anaknya, tapi memang lebih baik sipil yang militeris, daripada militer yang sipilis...hehehe..
Disiplin, itu yang selalu diajarkan Bapak pada anak-anaknya, meskipun baru setelah saya dewasa mengerti bahwa itu adalah disiplin, dulu sih ngertinya "sakiit, pediiih, takuut.." Tapi jangan salah, dibalik sosok Bapak yang disiplin, beliau sangat hangat dan tak jarang sangat lucu buat kami anak-anaknya.


Saya sangat suka dengan yang namanya olahraga, hampir semua olahraga saya bisa, bahkan tidak jarang di masa SD saya bisa mengalahkan seorang dewasa dalam pertandingan tenis meja.. It's true man.. Kata tetangga sih itu keturunan bakat dari bapak.

JRT kecil, ngganteng ya...
Sebenarnya tidak hanya praktek tapi juga teori, berita, juga cerita tentang olahraga saya suka dan menguasai. Maka tak heran sejak TK, saya sudah bercita-cita menjadi atlet, atlet sepakbola! I love football, sepakbola adalah cinta pertama saya terhadap olahraga dan abadi! Waktu saya mulai bisa menggambar, saya mesti merengek pada Ibu - yang sedang mencatat pengeluaran dan pendapatan rumah tangga di Buku Besarnya (kebiasaan Ibu tiap malam) - untuk diberi selembar kertas buram untuk menggambar, temanya selalu sama, "Orang Bermain Bola", seringnya dulu gambar Maradona dengan kostum timnas Argentina, atau gambar pemain Ajax Amsterdam bernomor punggung favorit saya, 7. Setelah selesai lalu saya serahkan ke Ibu untuk dinilai.
 
Saya :  "Bu, dibiji yo.." (Bu, dinilai ya..)
Ibu : "Dibiji piro?" (dinilai berapa?)
Saya : "Sak-sake" (terserah)
Ibu : "Yo wis nyo" (Ya sudah ini)
Saya: "Asyik..."

Nilainya 10 sodara-sodara! Mau gambarnya seperti apapun, Ibu pasti memberi nilai 10, tak pernah kurang... Lagi-lagi setelah dewasa saya baru faham, itulah teori yang selalu dikatakan pakar psikologis anak di masa kini, yaitu menghargai anak, membesarkan hati anak.

Beranjak pada akhir SD, bapak menawari salah satu dari 3 pilihan untuk mengisi waktu liburan jelang masuk SMP. Tiga hal itu adalah sekolah sepakbola, karate, dan Taekwondo. Pertama-tama Bapak mengajak saya menonton latihan Taekwondo di sebuah GOR di Kota Solo. Dari situ dimulailah cinta pada pandangan pertama, maka setelah pulang langsung saya katakan pada Bapak : "Aku pilih Taekwondo".

Sekitar 2-3 tahun belajar Taekwondo, kemampuan mulai meningkat dan prestasi mulai ada, namun di saat itulah saat-saat paling galau dalam pergaulan saya dengan Taekwondo. Bapak menyuruh saya berhenti! Itulah saya, orang kelas menengah, termasuk kemampuan intelektual, bodoh nggak-pinter banget juga nggak. Karena itu, bapak ingin saya lebih menekuni pendidikan dan tidak ingin terganggu dengan latihan taekwondo (latihannya malam jam 7-9). Bapak pengin anaknya pinter, biar bisa sekolah yang baik dan nantinya bekerja yang baik, dan hidup yang baik pula.  Saya pun menuruti. Sesuatu yang setelah dewasa cukup saya sesali. Taekwondo is my passion yang seharusnya saya pertahankan dan perjuangkan. Tapi apalah dayaku untuk melawan keinginan orang tua?

Dan kisah selanjutnya pun berbanding lurus dengan keinginan ortu. Saya diterima di SMA Negeri favorit di kota Solo, setelah lulus lalu diterima di Sekolah Kedinasan di bidang Lalu Lintas Jalan yang ada di kota Bekasi. Setelahnya pun saya otomatis menjadi PNS di sektor perhubungan hingga sekarang.

Kadang saya membayangkan, apa yang terjadi jika saya membantah keinginan bapak, mungkin saya tidak akan menjadi PNS, pekerjaan favorit kebanyakan orang Indonesia. Tapi mungkin jadi juara PON, juara Sea Games, juara Olimpiade, dapat bonus melimpah, setelah pensiun mungkin jadi artis sinetron laga. Mungkin...mungkin..mungkin... mungkin ya, mungkin juga TIDAK.

So, sekarang apa? Sekarang PNS, ya sudah hadapi, fight layaknya melakoni partai kyorugi. Yang tersisa tinggal hikmah, pelajaran, bagaimana untuk memperlakukan anak-anak. Pengin juga sebenarnya menumpahkan passion yang tertinggal di jiwa kepada anak-anak. Tapi kata orang bijak, ortu jangan terlalu memaksakan kehendak apalagi membebani dengan cita-cita orang tua yang tak tercapai. Jadi biarlah anak-anak seperti air mengalir dan biarlah saya dan Ibunya menjadi bibir-bibir selokan yang menjaga aliran air itu sampai ke tujuan....





Anyway, terima kasih untuk Bapak dan Ibu atas semuanya...

0 comments :

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan pesan, kritik, ataupun saran disini